Fiqh Munakahat


MUNAKAHAT
A.    PENDAHULUAN
1.      Pengertian Nikah
Nikah adalah asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Firman Allah SWT:
2.              وَالَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَ ذُرّيَاتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَّ اجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا
Dan orang-orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami, dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqaan : 74)
3.      Tujuan Nikah
Tujuan nikah adalah untuk menciptakan atau membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Seperti terdapat pada Q.S. Ar-Rum yang artinya:
”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dan tujuan nikah ini juga dijelaskan dalam UU No.1/74, yaitu Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
4.      Prinsip-prinsip dalam pernikahan
Prinsip-prinsip dalam pernikahan diantaranya adalah:
-          Pernikahan adalah untuk selamanya
-          Didasarkan pada prinsip-prinsip ibadah
-          Kerelaan antara kedua calon mempelai
B.     Hal-hal yng dilakukan sebelum pernikahan
1.      Khitbah ( pinangan)
Tujuannya adalah mengenali satu sama lain.
Khitbah secara bahasa pengucapannya ada dua:
a.         Kinayah yaitu bagi wanita yang sedang dalam masa ‘iddah
b.         Sharih yaitu khitbah secara jelas
2.      Kafa’ah/kufu’ (seimbang, selaras, sederajat, setingkat)
Setingkat dalam pernikahan antara laki-laki dengan perempuan ada lima sifat, yaitu menurut tingkat kedua ibu bapak.
a.       Agama                                                         
b.      Fisik
c.       Ekonomi                                                      
d.      Keturunan
C.     Pelaksanaan Nikah
1.      Rukun dan Syarat Nikah
Rukun nikah adalah hal-hal yang harus dipenuhi sebagai syarat sahnya nikah
a.         Calon suami
b.        Calon istri
Syarat-syarat calon suami dan istri antara lain:
·       Laki-laki dan perempuan
·       Tidak boleh ada hubungan mahram
Mahram adalah orang tidak halal dinikahi. Mahram ada dua:
Mahram muaqqot yaitu keharamannya tidak untuk selama-lamanya, contohnya: wanita yang dalam masa ‘iddah, ihram
Mahram Muabbad, ada tiga antara lain:
Ø  Mahram karena keturunan, ada 7 orang antara lain:
-            Ibu dan ibunya (nenek), ibu dari bapak, dan seterusnya sampai ke atas.
-            Anak dan cucu, dan seterusnya  ke bawah.
-            Saudara perempuan seibu sebapak , sebapak, atau seibu saja.
-            Saudara perempuan dari bapak.
-            Saudara perempuan dari ibu.
-            Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya.
-            Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya.
Ø  Mahram karena sebab satu susuan, ada dua orang antara lain:
-            Ibu yang menyusuinya.
-            Saudara perempuan sepersusuan.
Ø  Mahram karena sebab pernikahan, ada lima orang antara lain:
-            Ibu istri (mertua).
-            Anak tiri, apabila sudah campur dengan ibunya.
-            Istri anak (menantu).
-            Istri bapak (ibu tiri).
-            Haram menikahi dua orang dengan cara dikumpuli bersama-sama, yaitu dua perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perempuan yang bersaudara.
c.         Wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.
Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil, artinya tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Sabda Nabi SAW:
عَنْ اَبِى مُوْسَى رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali”. )HR. Khamsah kecuali Nasai(
Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang akan diuraikan di bawah ini:
·           Bapaknya
·           Kakeknya ( bapak dari bapak mempelai perempuan)
·           Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
·           Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
·           Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya
·           Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya
·           Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)
·           Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya
·           Hakim
Wali ada tiga, sebagai berikut:
·           Wali Nasab, meliputi ayah, kakek, paman, dll
·           Wali Hakim, ialah ketua KUA yang mendapat SK dari negara
·           Wali Muhakam yaitu wali yang diangkat menjadi wali oleh kedua calon mempelai
Macam-macam wali:
·           Wali Mujbir adalah seorang wali yang berhak mengawinkan tanpa menunggu keridhaan yang dikawinkan itu.
·           Wali ‘Adhol adalah wali yang tidak mau menjadi wali terhadap seorang perempuan yang diwalikan
·           Wali Mafqud adalah wali yang hilang, tidak diketahui keberadaannya
·           Wali Wakil adalah ketua KUA yang diperintah oleh wali nasab untuk menikahkan anaknya
d.        Saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang , lelaki, muslim, baligh, berakal, melihat, dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.
Sabda Nabi SAW:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ شَاهِدَى عَدْلٍ
Dari ‘Imran bin Hushain dari Nabi SAW beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua saksi yang adil”. )HR. Ahmad bin Hanbal(
e.         Akad, rukun-rukunnya antara lain:
·           Bahasa
Menurut Jumhur Ulama, bahasa akad yang digunakan adalah bahasa daerah setempat, harus dimengerti oleh wali, saksi, dan kedua calon mempelai.
·           Dalam satu majlis
·           Antara ijab dan qabul harus bersambung
·           Mahar/Maskawin
Jika melangsungkan pernikahan, suami diwajibkan member sesuatu kepada si istri, baik berupa uang ataupun barang (harta benda). Pemberian inilah dinamakan mahar atau maskawin.
Firman Allah SWT:
 “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, tetapi apabila isteri itu dengan sukarela menyerahkannya kepada kamu, makanlah pemberiannya itu dengan senang dan baik-baik.” (QS An-Nisa:4)
Pemberian maskawin/mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itupun sah.
Mahar ada dua:
Mahar Musamma adalah mahar yang disebutkan jenis, jumlah, pada waktu akad.
Mahar Ghairu Musamma adalah mahar yang tidak disebutkan.
·           Walimah ‘Ursy
Golongan Jumhur berpendapat menyelenggarakan walimah itu sunat saja, bukan wajib. Demikian pula, orang menghadiri undangan walimah adalah wajib, bahkan wajib ‘ain.
Sabda Nabi SAW:
عَنْ اَنَسٍ قَالَ: مَا اَوْلَمَ النَّبِيُّ ص عَلَى شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا اَوْلَمَ عَلَى زَيْنَبَ، اَوْلَمَ بِشَاةٍ
Dari Anas, ia berkata, "Nabi SAW tidak pernah menyelenggarakan walimah atas (pernikahannya) dengan istri-istrinya sebagaimana walimah atas (pernikahannya) dengan Zainab, beliau menyelenggara-kan walimah dengan (menyembelih) seekor kambing". )HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim(
D.    Putusnya Perkawinan
1.      Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan
a.         Nusyuz
Apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut syara’, tindakan itu dipandang durhaka.
Seperti hal-hal dibawah ini:      
-          Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau pindak ke rumah itu, atau istri meninggalkan rumah tangga tanpa izin suami.
-          Apabila suami istri tinggal di rumah kepunyaan istri dengan izin istri, kemudian pada suatu waktu istri mengusir suami masuk rumah itu dan bukan karena minta pindah ke rumah yang disediakan oleh suami.
-          Umpamanya istri menetap di tempat yang disediakan oleh peruasahaannya, sedangkan suami minta supaya istri menetap di rumah yang disediakannya, tetapi istri berkeberatan dengan tidak ada alasan yang pantas.
-          Apabila istri bepergian dengan tidak beserta suami atau mahramnya, walaupun perjalanan itu wajib, seperti pergi haji, karena perjalan perempuan yang tidak beserta suami atau mahram terhitung maksiat.
Adapun tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang durhaka adalah:
-          Suami berhak member nasihat kepada istri bila tanda-tanda kedurhakaan si istri sudah tampak.
-          Sesudah nyata durhakanya, suami berhak berpisah tidur darinya.
Firman Allah SWT:                                                             
Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyûz-nya, maka nasihatilah mereka, tinggalkanlah  mereka di tempat tidurnya, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membekas). Jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari alasan untuk menghukum mereka. (QS an-Nisa' : 34)
b.      Syiqoq
Adalah ketidakcocokan atau pertengkaran antara suami dan istri secara terus menerus sehingga menimbulkan perceraian.
Kedudukan cerai sebab syiqoq adalah bersifat ba’in, artinya antara bekas suami isteri hanya dapat kembali sebagai suami isteri dengan akad nikah yang baru.
2.      Inisiatif/sebab-sebab yang memutuskan perkawinan
a.       Suami (Talak)
Secara bahasa talak berarti melepas, sedangkan secara istilah berarti menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus.
Sabda Nabi SAW:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م اَبْغَضُ الْحَلَالِ اِلَي اللهِ الطَّلاَ قُ

Dari Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah Swt ialah talak.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Ø  Hukum talak, ada empat antara lain:
-          Wajib. Apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai.
-          Sunat. Apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya), atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya.
-          Haram (bid’ah) dalam dua keadaan. 1) menjatuhkan talak sewaktu  si istri dalam keadaan haid. 2) menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam waktu suci itu.
-          Makruh, yaitu hokum asal dari talak tersebut di atas.
Ø  Kata/lafal yang digunakan untuk mencerai, ada dua macam antara lain:
-          Sharih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan, seperti kata suami, “Saya ceraikan engkau.” Berarti apabila dikatakan oleh suami, berniat atau tidak berniat.
-          Kinayah (sindiran), yaitu kalimat yang masih ragu-ragu, boleh diartikan untuk perceraian nikah atau yang lain, seperti kata suami, “Pulanglah engkau ke rumah keluargamu.” Kalimat sindiran ini bergantung pada niat, artinya kalau tidak diniatkan untuk perceraian nikah, tidaklah jatuh talak.
Ø  Macam-macam talak
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak atau keadaan isteri waktu talak itu diucapkan, talak dibedakan kepada:
-          Talak Sunni, ialah talak yang pelaksanaannya sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Ada empat kriteria talak sunni antara lain:
·         Isteri sudah pernah dikumpuli.
·         Isteri segera melakukan iddah setelah ditalak.
·         Isteri yang ditalak dalam keadaan suci, baik di awal suci atau di akhir suci.
·         Dalam masa suci pada waktu suami menjatuhkan talak isteri tidak dicampuri.
-          Talak Bid’i, ialah talak yang dijatuhkan tidak menurut tuntunan agama. Talak yang termasuk ke dalam talak bid’iy ialah:
·         Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri sedang menjalani haid atau sedang nifas.
·         Talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci tetapi telah dikumpuli lebih dahulu.
Ditinjau dari kemungkinan suami merujuk kembali isteri atau tidak, talak dibagi kepada dua macam, yaitu:
-          Talak Raj’i, yaitu talak yang si suami diberi hak untuk kembali kepada isteri yang ditalaknya tanpa harus melalui akad nikah yang baru, selama isteri masih dalam masa iddah.
-          Talak Ba’in, talak ba’in ada dua yaitu:
·         Ba’in Sughra, yaitu suami boleh ruju’ kepada kembali kepada isterinya dengan syarat suami harus menkahinya lagi dengan akad nikah yang baru.
·         Ba’in Kubra, yaitu talak apabila suami ingin kembali kepada mantan isterinya , selain harus dilakukan dengan akad nikah yang baru, disyaratkan isteri terlebih dahulu harus sudah menikah dengan orang lain dan telah diceraikan.
b.      Khulu’
Secara bahasa khulu’ berarti melepas. Sedangkan secara istilah suami menceraikan isterinya dengan suatu iwad yang diterima suami dari isteri atau orang lain dengan ucapan tertentu. Misalnya mengembalikan mahar yang dulu diberikan oleh suaminya. Firman Allah SWT:
... فَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِ
... jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. (QS. Al-Baqarah : 229)
c.       Pengadilan (Fasakh)
Secara bahasa fasakh berarti batal atau rusak. Sedangkan secara istilah adalah batal, putus, dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami-isteri yang disebabkan oleh terjadinya kerusakan /cacat yang terjadi pada akad nikah itu sendiri maupun oleh hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang datang kemudian yang menyebabkan ikatan perkawinan itu tidak dapat dilanjutkan.
Adapun Penyebab dan Bentuk-bentuk -bentuk Fasakh antara lain:
Ø  Fasakh yang disebabkan oleh rusaknya atau adanya cacat ketika akad nikah dilangsungkan.
Ø  Fasakh yang disebabkan oleh munculnya suatu penghalang setelah berlangsungnya perkawinan.
Bentuk-bentuk Fasakh antara lain:
Ø  Fasakh terjadi karena rusak atau cacatnya akad pernikahan yang penyebabnya diketahui setelah pernikahan berlangsung.
Ø  Fasakh terjadi karena isteri dimerdekakan dari status budak sedangkan suaminya tetap berstatus budak.
Ø  Fasakh yang terjadi karena perkawinan yang dilakukannya adalah nikah mut’ah.
Ø  Fasakh yang terjadi karena menikahi wanita yang masih dalam masa ‘iddah.
d.      Sebab-sebab lain
Ø  Dzihar, ialah ucapan seorang suami yang menyamakan punggung isteri dengan punggung ibunya.
Apabila suami menyatakan dzihar terhadap isterinya maka berlakukan ketentuan hokum sebagai berikut:
-          Apabila suami menyesali perbuatannya dan berpendapat bahwa hidup kembali dengan isterinya akan mendatangkan manfaat, maka hendaknya suami mencabut kembali dziharnya dan mengembalikan isteri kepangkuannya, saling memaafkan. Sebelum suami mengumpuli kembali isterinya ia diwajibkan membayar kafarah dzihar berupa:
·         Memerdekakan seorang budak sahaya yang beriman. Apabila suami tidak melakukannya, maka ia harus
·         Puasa dua bulan berturut-turut, tanpa diselingi berbuka dalam satu haripun. Apabila suami tidak mampu melakukannya, maka ia harus
·         Memberi makan secukupnya kepada 60 orang miskin.
-          Jika suami berpendapat bahwa memperbaiki kembali hubungannya dengan isteri tidak memungkinkan dan menurut pertimbangannya bahwa bercerai itulah jalan yang terbaik, maka hendaklah suami menjatuhkan talak kepada isterinya, agar tidak menyiksa isteri lebih lama.
-          Apabila suamiApabila suami tidak mencabut kembali dziharnya dan tidak juga mencerai isterinya, maka setelah berlalu masa empat bulan atau 120 hari sejak diucapkan dzihar, Hakim menceraikan antara kaduanya dan perceraian antara keduanya sebagai perceraian ba’in.
Ø  Ila’, ialah sumpah menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang tertuju kepada isteri-nya untuk tidak mendekati isterinya itu, baik secara mutlak atau dibatasi dengan ucapan selama-lamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih.
Hukum ila’ ada dua macam, hukum ukhrawi yaitu berdosa jika tidak kembali kepada isterinya, dan hukum duniawi, yaitu berupa perceraian setelah empat bulan menunggu sejak mengucapkan ila’.  Adapun kafarah ila’ sebagai berikut:
-          Menjamu/menjamin makan 10 orang miskin, atau
-          Member pakaian kepada 10 orang miskin, atau
-          Memerdekakan seorang budak.
Ø  Li’an, ialah sumpah suami terhadap isteri bahwa isterinya melakukan hubungan dengan orang lain/seorang suami yang tidak mengakui bahwa isterinya yang mengandung itu bukan hubungan dengan dirinya (suami).
Akibat li’an suami, timbul beberapa hokum
-          Dia tidak disiksa (didera).
-          Si suami wajib disiksa (didera) dengan siksaan zina.
-          Suami isteri bercerai selama-lamanya.
-          Kalau ada anak, anak itu tidak dapat diakui oleh suami.
e.       Kematian
E.     ‘Iddah
Ialah masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan suaminya (cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak.
1.      Mengapa harus ada ‘iddah?
a.       Agar suami isteri itu diberi waktu kesempatan untuk merenung, mempertimbangkan, memikirkan apakah dia kembali lagi atau tidak.
b.      Bagi perempuan yang ditinggal mati, manfaatnya adalah untuk rasa berduka cita.
c.       Para ahli ilmu fiqih menganalisis bahwa manfaat iddah adalah untuk mengetahui kebersihan rahim.
2.      Larangan pada masa ‘iddah
a.       Keluar rumah, kecuali ada kepentingan yang mendadak.
b.      Tidak boleh berdandan.
c.       Tidak boleh dilamar.
3.      Masa ‘iddah
a.       Isteri yang dicerai dan belum pernah dikumpuli tidak ada masa ‘iddahnya.
b.      ‘Iddah bagi perempuan yang belum pernah haid atau sudah tidak haid lagi ‘iddahnya 3 bulan.
c.       ‘Iddah bagi perempuan yang normal/subur, masa ‘iddahnya adalah 3 kali quru’.
d.      Perempuan yang diceraikan dalam keadaan hamil, ‘iddahnya adalah sampai melahirkan.
e.       Perempuan yang ditinggal mati suami, ‘iddahnya adalah 4 bulan 10 hari.
f,   Perempuan yang ditinggal mati suami dan dalam keadaan hamil, ‘iddahnya diambil waktu yang paling lama dari keduanya. 

Komentar